Kapal Sriwijaya
Berlainan dengan pembuatan kapalnya, Sriwijaya akhirnya memakai rantai besi di pelabuhannya. Ini kemukakan oleh pengelana Cina lain yang bernama Chau Ju-kua pada 1225 seperti termuat dalam tulisan F. Hirth dan W.W. Rockhill pada 1967.
Gabriel Ferrand, ahli sejarah Prancis pada 1922 menyatakan bahwa nenek moyang orang Malagasi adalah orang dari Sriwijaya yang menguasai ilmu pelayaran untuk mampu berlayar sampai di Madagaskar dan lain-lain. Selanjutnya, Pierre-Yves Manguin, arkeolog maritim dari EFEO (Lembaga penelitian Prancis untuk Timur Jauh) memperkirakan kapal Sriwijaya, militer maupun dagang mampu membawa muatan 450-650 ton. Malahan, pada perkembangan selanjutnya, dengan panjang kapal 60 meter, kapal mampu membawa muatan sampai 1.000 ton.
Seperti dikatakan di atas, kehebatan Kerajaan Sriwijaya tidaklah berdiri dengan tiba-tiba. Menurut Denys Lombard, penopangnya adalah masyarakat yang beragam masa itu. Selain penduduk asli Sriwijaya, mereka adalah para nelayan, pelaut, pengangkut, pedagang, para petualang, bahkan para perompak lanun waktu itu. Pengalaman serta pengetahuan mereka disatukan dan terbentuklah teknologi membuat kapal yang prima waktu itu. Hal ini pulalah, yang menurutnya ”... merentangkan jaringan-jaringan tua yang yang menjadi tumpuan kesatuan Indonesia dewasa ini” selain bahasa Indonesia yang saat ini menjadi lingua franca di negara kepulauan terbesar di dunia ini.
Banyak ahli mengatakan bahwa keberadaan Kerajaan Sriwijya ”hanya” berdasarkan tulisan kronik-kronik penulis dan petualang intelek Cina, Arab, dan Persia, serta beberapa prasasti.
Dari situs Samirejo, Kecamatan Mariana, Banyuasin (14 km timur laut Palembang), ditemukan sisa-sisa perahu kayu di dalam rawa. Setelah diperhitungkan dengan memakai uji karbon (C-14), ternyata kapal itu dipakai pada tahun 610-775. Ada sembilan papan dan sebuah kemudi yang panjangnya 23 meter. Juga terdapat sisa tambang ijuk.
Berdasarkan pendapat Pierre-Yves Manguin, kapal dibangun dengan tradisi pembuatan kapal Asia Tenggara. Pastilah bukan milik Cina atau lainnya. Teknik seperti ini juga ditemukan pada sisa-sisa kapal atau perahu di situs-situs Kolam Pinisi dan Sungai Buah, (Palembang), Tulung Selapan (Ogan Komering Ilir), Karang Agung Tengah (Musi Banyuasin), serta Lamhur (Jambi) dan Kota Kapur (Bangka).
Tradisi membuat kapal ini berbeda dengan teknologi Cina yang saat itu sudah menemukan besi untuk membuat paku. Biasanya lambung kapal dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan paku besi pada kerangka dan dinding penyekat. Teknologi Asia Tenggara menggunakan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank dan lashed lug technique). Tonjolan segi empat (tambuka) digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading. Pengikatnya ialah ijuk dan diperkuat dengan pasak kayu.
Bukti tertua menggunaan teknik ini ditemukan untuk pertama kali di situs Kuala Pontian di Semenanjung yang diperkirakan sudah ada pada abad 3 sampai 5.
(Sejarah Palembang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar